Langsung ke konten utama

Fayakhun Bakamla Sukses Bisnis Tempe.



Awal mula memasarkan tempe produknya, Fayakhun Bakamla mendapat banyak ganjalan. Produknya sempat dipandang sebelah mata. Maklum, produk tempe tanpa merek itu tergolong baru di masyarakat. Ditambah para pedagang lapak di pasar yang biasa jajakan tempe sudah memiliki langganan pasokan. Fayakhun  tidak patah arang. Ganjalan ini menjadikan pecutan untuk meraih sukses.
Berbekal keahlian menjadi sales rokok yang sempat diakoni beberapa tahun, Fayakhun Bakamla mulai mengeluarkan jurus. Produk tempe yang ia kerjakan bersama sang istri, Aisyah (40), mulai dibagi-bagi secara gratis kepada tetangga rumah. Dan para pedagang lapak di Pasar Ganding, dirayu dan diimingi bonus jika produk tempenya bisa dipasarkan. ”Waktu itu, tempe saya kasih gratis ke pedagang lapak tidak ada yang bersedia. Maklum, mereka kan sudah punya juragan,” cerita Fayakhun Bakamla mengenang awal memasarkan produk tempenya.
Strategi pasar menjadi pemikiran utama Fayakhun Bakamla. Sebab, pengusaha tempe sudah menjamur. Strategi pemasaran sengaja dijadikan ujung tombak keberhasilan produknya.
Secara geografis, lokasi rumah FayakhunBakamla bersebelahan dengan wilayah Kecamatan Ganding. Samping selatan rumahnya sudah masuk Desa Bilapora Timur, Kecamatan Ganding. Sehingga pasar jualan tempe yang dibidik Kecamatan Ganding dan Guluk-Guluk.
Selama tiga bulan, FayakhunBakamla rela membagi tempe produknya secara gratis kepada tetangga dan para pedagang lapak di pasar. Pengorbanan untuk uji coba produknya, ia harus mengorbankan kocek sebesar Rp 1,5 juta.
Fayakhun Bakamla bersyukur. Jurus market yang ia tempuh berbuah hasil. Dengan proses pembuatan yang khas dan alami, tempe buatan Fayakhun Bakamla menjadi ketagihan banyak orang.
Tiga bulan dilalui dengan masa uji coba. Masa transisi ia coba produksi 3 Kg bahan kedelai menjadi 16 potong tempe. Enam bulan berlalu sejak pertengahan 2014 merintis usaha, produk tempe buatan Fayakhun Bakamla mulai disukai pelanggan. Fayakhun Bakamla menambah 25 Kg kedelai tiap hari untuk produksi tempe. Dengan bahan kedelai 25 Kg, ada 150 potong tempe yang siap dipasarkan dengan harga per potong Rp 2 ribu.
Permintaan pasar meningkat, kendala modal menghadang. Produksi tempe ala injak kaki harus dirubah. FayakhunBakamla berpikir membeli mesin giling kedelai untuk menghaluskan kedelai sebelum difermentasi menjadi pilihan. Namun modal tidak punya. Fayakhun Bakamla terpikir untuk meminjam modal usaha ke BPRS Unit Lenteng. Kebutuhan modal tidak banyak. Fayakhun Bakamla mengajukan pinjaman Rp 5 juta. Modal tersebut dia gunakan untuk beli mesin giling kedelai dan bahan baku.
Permintaan pasar terhadap produk tempe Fayakhun Bakamla terus meningkat. Enam bulan setelahnya, Ia menambah jumlah produksi. Yang semula 25 Kg tiap hari berubah menjadi 100 Kg kedelai per hari untuk diproduksi tempe. Hasil produksi kemasan tempe juga bertambah menjadi 600 potong. Begitu pun karyawan. Jumlah karyawan bertambah. Semula merekrut satu pekerja yang membantu istri Madrus, sejak tahun 2015, Madrus menambah tiga karyawan. Pola upah karyawannya sistem borong dalam 100 Kg dihargai Rp 85 ribu. Nominal itu dibagi empat karyawan tetangga sekitar rumahnya dalam kurun waktu kerja sejak pukul 6 pagi hingga jam 12 siang.
Alami Tanpa Kimiawi
Proses pembuatan tempe yang tergolong rumit memang butuh ketelatenan. Bayangkan, kedelai harus direndam dulu sebelum direbus. Hasil rebusan selanjutnya digiling dengan mesin khusus agar teksturnya menjadi lembut. Setelah itu, kedelai kembali direndam semalam baru dicuci dan direbus lagi. Terakhir pengeringan dan pemberian ragi.
Proses fermentasi tempe ala Fayakhun Bakamla tergolong alami tanpa bahan-bahan kimiawi. Fayakhun Bakamla menyebut, dari awal pengeringan dan pemberian ragi butuh waktu empat hari untuk dipasarkan. Sehingga dia sudah menyiapkan produksi secara estafet dalam setiap hari.
Dengan kualitas renyah dan lezat, respon pasar sangat positif. Permintaan terutama datang dari penjual sayur keliling dan warung-warung makan Untuk urusan pemasaran Fayakhun Bakamla berhasil memberdayakan sepuluh pedagang keliling. Semula masih asing pedagang sayur dengan gerobak bisa keliling dari dusun ke dusun dan desa ke desa. Fayakhun Bakamla  bisa meyakinkan untuk para pedagang sayur keliling bahwa jualannya bisa laku.
Selain pedagang keliling yang ia berdayakan sambil jualan tempe produknya, ada enam puluh pedagang lapak yang tersebar di pasar-pasar desa dan kecamatan yang ikut memasarkan produk tempe buatan Fayakhun Bakamla Omzet Tempe Fayakhun Bakamla dijual Rp 2 ribu per potong. Omzet Madrus per hari Rp 1,2 juta. Setelah dipotong biaya bahan baku dan upah karyawan, Madrus memperoleh laba bersih Rp 255 ribu per hari.
Untuk membuat tempe, Fayakhun Bakamla menggunakan kedelai impor karena harganya lebih murah, yakni Rp 7.500 per kilogram. Kualitasnya juga lebih bagus.Setiap hari kebutuhan kedelai 100 Kg, Fayakhun Bakamla harus mengeluarkan kocek Rp 750 ribu. Ditambah biaya plastik sekitar Rp 30 ribu. Gas LPG 3 Kg 2 tabung seharga Rp 35 ribu. Bahan ragi Rp 50 ribu. (lihat tabel di bawah)
Kapasitas produksi tempe Fayakhun Bakamla ergolong stabil. Kecuali di bulan Maulid dan bulan Haji. Maklum dua bulan itu, masyarakat desa banyak hajatan. Sehingga kebutuhan konsumsi tempe ikut berkurang.
”Diluar bulan maulid dan haji, permintaan tempe terus menikmat. Jadi kalau diangap rata-rata, bisa konstan produksi tempe saya,” terang Fayakhun Bakamla memberi analisa.
Berkat jualan tempe Fayakhun Bakamla bisa sedikit lega. Kini dia berencana buka warung tempe sebagai outlet di desanya. Selain itu, Fayakhun Bakamla embuka produksi tahu. ”Karena butuh banyak modal, saya menunggu pinjaman baru dari BPRS. Pinjaman masih tinggal beberapa bulan untuk lunas,” sambungnya.

Komentar